Wedding Frenzy

Many things happened in these past months, going here and there, massive extra workload, had a chance to hang out once again with the members of narsiiser jakartanensis, another try to step up against the world and conquer my realm of dreams, and a glimpse of a not-so-well-told cliche story just like everybody has. And for that I know (and feel gonna be) is that this first half of the year will be bloody busy.

Aside from all that stuff, what make this first half of the year looks amazing is when I list down my friends wedding party and found that almost in every month there will be a friend or two who will take their life to the next level: marriage, and most of them are my college mates, but its really a shame that I can’t visit them in their happiness moment, yeah I do wish I have Doraemon’s door or Son Go Ku’s teleport skill right now, it will solve the space and time problem for good.

Along the Road
Along the Road by aryo_kn at flickr

This wedding frenzy started in the early of february. At 5th, Sofian & Rani held their wedding ceremony at Rangkas Bitung, Banten. They were once a high school friend and turned out to be a bride and bridegroom. Next, At february 18th, one of our dearest friends, Husnul, also held his wedding party at Kediri, the town where he gone to high school (he is Lamonganese just so you know) and you may guest it right that he also married to his high school friend, finally he moved on. Continue reading “Wedding Frenzy”

Advertisement

memang beda ya …

Baru kali ini saya merasakan perbedaan budaya yang benar-benar terasa. Budaya ini bukan budaya kota Jakarta yang beda dari budaya Surabaya, tapi budaya yang ada di setiap kantor yang ada disini.  Dari budaya kantor yang bersifat kekeluargaan masuk ke kantor yang budayanya sangat dingin, bukan dingin-nya es loh, u know what i mean kan?.

Dan budaya akan sangat berpengaruh pada kinerja, jika sebuah perusahaan mempunyai budaya yang kondusif maka secara otomatis kinerja karyawan akan positif dan ujung-ujungnya akan meningkatkan revenue dari perusahaan, nah jika budaya yang dibangun dan dikembangkan “tidak sehat” hasilnya ya  sebaliknya, terjadi persaingan yang tidak sehat, komunikasi antar individu tidak lancar, teamwork kurang, turn over karyawan tinggi yang ujung-ujungnya juga menyebakan kinerja perusahaan juga terjadi akselerasi negatif, dan kayaknya ini banyak buktinya.

Nah terus gimana dong kalo lingkungan kerja kita punya budaya yang menurut kita “kurang” kondusif. Hmmm … menurut saya ada 3 opsi menurut saya dalam menghadapi masalah semacam ini:

  • Opsi satu, mencoba membuat perubahan, kalau anda merasa tidak nyaman dengan kondisi budaya lingkungan anda, maka tak ada salahnya kan jika anda berusaha merubah lingkungan anda menjadi lebih baik bagi anda dan orang-orang disekitar anda. Perubahan ini tidak melulu perubahan yang drastis dan massive, namun bisa dimulai dari beberapa perubahan-perubahan kecil yang dimulai dari diri anda.
  • Opsi dua, ya … pertahankan status quo, let it the way it it is, kalau anda emang nyaman dengan keadaan lingkungan anda sekarang.
  • Opsi tiga, jika anda tidak punya kekuatan untuk memulai perubahan namun anda tidak tahan dengan status quo, maka lebih baik anda mencari linkungan baru yang sesuai dengan anda.

Bagaimana dengan anda?

Pilih opsi mana? ataukah punya opsi yang lain?

Sumpah Panas

Surabaya yang mendapat julukan sebagai “Kota Pahlawan” karena peristiwa perang 10 Nopember 1945 pantas mendapatkan sebuah julukan baru yaitu “Kota Kepanasan”, kenapa? Ya karena ini kota memang panas banget, pokoknya sumpah panas dah. Dan menurut hasil survey saya dengan metode wawancara (halah … ) dan berdasarkan pengalaman pribadi, Surabaya adalah kota terpanas di jagad Indonesia (tolong beritahu saya kalau ada kota yang lebih panas dari sini). Sebut saja Merak yang notabene nya adalah salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia aja masih lewat kalau dibandingkan dengan Surabaya. Ambon, menurut Bob yang sekarang ada di sana, panasnya masih kalah sangar dibanding Surabaya. Kutacane, Aceh, menurut saudara Aceh yang baru pulang kampung ke Aceh (loh …) jam 12 nya sana (Kutacane) sama kayak jam 8 nya surabaya, coba bayangkan!..

Bagi anda yang hidup di Surabaya mungkin hal itu sudah biasa dan wajar, tapi pernahkah anda merasa bahwa akhir-akhir ini Surabaya kelewat panasnya, bahkan pagi nya saja udah kelewat panas. Dan ternyata puncak panas nya adalah sekitar tanggal 20-21 oktober. Dan diberita kemarin (lupa stasiun tv nya apa) sempat diberitakan bahwa suhu di Surabaya mencapai 37 derajat C, bahkan kemarin ada teman yang sempat mengukur panasnya Surabaya dengan termometer dan hasilnya adalah …. jeng jeng jeng jeng …. 40 derajat C saudara-saudara … sebuah rekor baru terpecahkan, tak heran kan kalau surabaya bisa dijuliki sebagai Kota Kepanasan.

Saya yang sebagai anak kos-kosan miskin yang hanya punya sebuah kipas angin kecil dalam ruangan tiada ber-AC selalu merasa bersauna disetiap saatnya. Tak hanya pada siang nya, malamnya pun tak kalah gerahnya, mandinya serasa mandi air hangat di jam 12 siang. Makanya pada saat-saat seperti ini rasanya bingung mau ngapain, keluar segan, tidurpun tak mampu. haduh… kok jadi mengeluh begini.

Ya tapi semua itu dapat diambil hikmahnya, mungkin Tuhan sedang memperingatkan kita … “ingatlah ini masih panasnya dunia belum panasnya bara api neraka” …