Hidup itu sudah susah, jangan dibuat susah – sebuah ungkapan
Mungkin memang adalah kecenderungan manusia untuk melebih-lebihkan sesuatu. Sebuah masalah yang mungkin cukuplah sederhana berdasarkan fakta dan data namun menjadi begitu pelik dan berliku ketika ada di alam pikiran kita, manusia. Bisa jadi masalah teman salah ambil kerupuk ketika makan siang pun menjadi sebuah persoalan yang hebohnya luar biasa sampai-sampai dibuat kultwit-nya, ok, ini contoh yang lebay.
Pernah suatu saat, ketika sedang memilih buku yang hendak ia beli, teman saya bilang kalau kadang konflik yang ada di cerita novel-novel itu terlalu di lebih-lebihkan. Padahal, konflik-konflik itu bisa terselesaikan jika si Fulan ngopi bareng si Fulana dan si John Doe makan bareng Jane Doe, atau mereka berempat nonton bareng lalu ngobrol setelahnya. Tapi, tak ada cerita yang bisa diceritakan jika seperti itu bukan?
Lalu apa yang membuat sebuah masalah sederhana menjadi kompleks. Mungkin —ini sekedar pikiran saya saja— karena manusia itu seringkali baper dan gengsi. Sedikit-sedikit bawa perasaan, dan kalau salah pun mencari pembenaran karena gengsi kalau salah. Kalau mau contoh, silahkan lihat linimasa media sosial masing-masing. Pastilah ada yang curcol tentang si A yang begini atau kenapa si B berkata begitu. Beruntung kalau masalah hanya berakhir di situ, buntung kalau si A atau si B tidak terima, walaupun itu dibalut tagar #nomention. Pelik memang kalau menyangkut perasaan.
Saya jadi teringat salah satu mata kuliah saya dulu, tentang sistem penunjang keputusan, dimana salah satu temanya adalah tentang penentuan akar masalah. Hampir dalam setiap persoalan yang muncul adalah gejala-gejala dari suatu masalah, bukan masalah itu sendiri. Jadi kalau kita memecahkan persoalan-persoalan yang nampak belum tentu kita benar-benar memecahkan akar masalah yang ada, bisa jadi nanti muncul mereka muncul kembali dengan berbagai variasinya. Oleh karena itu, menjadi krusial bagi kita untuk bisa membedakan mana yang gejala dan mana yang akar permasalahan itu sendiri.
Menemukan akar masalah memang tidak mudah, apalagi jika melibatkan perasaan. Terkadang objektifitas jadi bias, sehingga proses analisa jadi pendek dan tidak sempurna, terlalu terpaku apa yang ada didepan mata. Mungkin ada baiknya kita berhenti sejenak, menarik nafas, memejamkan mata dan menenangkan pikiran. Menganalisa satu-satu persoalan tanpa terlalu memandang perasaan. Mungkin dari situ benang masalah yang terlihat rumit bisa jadi hanya sebuah simpul-simpul sederahana yang jika ditarik salah satu ujungnya maka selesailah dia.
Mungkin benar kalau memecahkan masalah itu seni, setiap orang punya cara dan pemahaman yang berbeda. Yang jelas ia butuh waktu dan usaha.