Manfaat Kuliah di Luar Negeri

Kuliah di luar negeri? Sudah jauh-jauh dari keluarga, berkorban waktu, namun jika hasilnya sama saja dengan kuliah di dalam negeri ya rugi jadinya

Kemarin, untuk kedua kalinya saya ditanya “apa yang didapatkan setelah selesai kuliah di luar negeri?”. Wajar jika seseorang bertanya seperti itu. Sudah jauh-jauh dari keluarga, berkorban waktu, namun jika hasilnya sama saja dengan kuliah di dalam negeri ya rugi jadinya. Saya pun berpikir mencari-cari jawaban yang pas. Apa bedanya kalau saya melanjutkan kuliah saya di Indonesia ketimbang di luar negri.

Menurut saya, setidaknya ada tiga point yang dapat saya ambil manfaatnya yang mana mungkin tidak bisa saya dapatkan dari kuliah di dalam negeri. Pertama, kemampuan memasak yang maju pesat. Ini adalah hal yang paling terasa sebenarnya. Saya memang bisa masak sebelumnya namun hanya sebatas nasi goreng, telor dadar, telor mata sapi dan mi instant tentu saja. Ketika berada di luar negeri, terutama di negara-negara eropa, harga makanan amat sangat tidak nyaman bagi kantong-kantong mahasiswa belum lagi susahnya mencari tempat makan yang menyediakan makanan halal, memasak adalah sebuah kewajiban untuk bertahan hidup.

Dalam kurun dua tahun saya sudah pernah dan bisa memasak beberapa menu makanan selain 4 masakan diatas. Yang paling sering pastinya adalah spaghetti aglio e oleo yang cukup sederhana proses memasaknya, hanya membutuhkan spaghetti, minyak zaitun dan bawang putih sebagai bahan utamanya. Boloignese dan carbonara juga pernah saya coba namun hanya sekali dua kali saja. Ayam katsu, cap cay, mie goreng, tamagoyaki, sushi roll dan pancake juga pernah saya coba. Untuk masalah rasa, menurut pendapat teman-teman yang pernah merasakan masakan saya, kata mereka cukup lumayan –mungkin mereka sungkan. Bottom line-nya adalah bahwa memasak adalah sebuah skill yang bisa dipelajari oleh siapa saja, kalau saya bisa anda pasti juga bisa.

Point kedua adalah bertambahnya frame of reference. Frame of reference bisa diartikan sebagai konsep, nilai ataupun pandangan tentang sesuatu. Di bidang akademik itu pasti. Belajar dari para ahli di bidangnya tentu saja membuat para mahasiswa tercerahkan. Pengalaman (experience) sarana penunjang pendidikan juga sangat baik. Mulai dari administrasi yang tersutruktur dan para staff yang solutif hingga sistem penunjang pendidikan yang online dan terintegrasi. Inilah yang menurut saya masih kurang diperhatikan di Indonesia. Namun, seiring dengan semakin banyaknya para dosen muda sekolah di luar negeri, saya kira dalam beberapa tahun kedepan gap itu akan semakin mengecil, semoga.

Berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda membuat saya lebih berpikiran terbuka dan menghargai perbedaan. Berpikiran terbuka tidak lantas mengikuti apa yang mereka kerjakan. Bagi saya berpikiran terbuka itu memahami nilai-nilai dan konteks yang diusung dibalik setiap perbuatan mereka, selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Tak selamanya semua yang berbeda itu jelek, banyak hal yang bisa kita ambil hikmatnya dalam perbedaan.

Point terakhir adalah memaksa diri keluar dari zona nyaman. Hidup di luar negeri cukup menantang dan banyak cobaan. Sebagai seorang muslim yang terbiasa hidup sebagai mayoritas, tinggal di eropa membawa lumayan banyak tantangan. Yang utama adalah makanan halal. Di St. Andrews sangat susah mendapatkan daging halal, cara paling mudah adalah pergi ke Dundee dimana ada masjid besar dan komunitas muslim untuk mencari daging halal. Jadi selama disana saya kebanyakan memasak ikan ataupun makanan laut lainnya, dan juga sayuran. Itulah kenapa saya jadi suka brokoli.

Selain makanan, tempat ibadah juga tidak setersedia di Indonesia. Di Nancy, yang saya tahu, hanya ada dua masjid: satu di tengah kota dan satu lagi di pinggir. Itupun bangunannya berupa rumah biasa yang diubah menjadi masjid, bukan seperti masjid-masjid di Indonesia yang berkubah. Tak jarang setiap sholat Jum’at kami harus berdesak-desakan agar jamaah sholat muat di dalam masjid. Kontras dengan kebanyakan jamaah di Indonesia yang jarang merasakan hal itu. Sayapun jadi merasa malu ketika melihat shaf-shaf yang renggang ketika sholat di masjid/musholla di Indonesia mengingat bagaimana para jamaah sholat diluar sana berdesak-desakan agar masuk dalam masjid.

Cobaan tersendiri adalah ketika harus berpuasa selama kurang-lebih 20 jam. Meskipun terdengar seperti hal yang luar biasa, namun ketika dijalani, alhamdulillah, tidak seberat yang diduga. Selain durasi yang panjang, berinteraksi dengan orang-orang yang tidak berpuasa juga menjadi sebuah tantangan. Kerap teman-teman saya bertanya “how can you do that?” atau “why do you fast? for what purpose?”, seru! Pengalaman berpuasa di luar negeri membuat saya lebih tidak manja dalam berpuasa, tidak merasa harus selalu diistimewakan, karena yang saya fahampun bukan itu hakikat berpuasa. Semakin luasnya zona nyaman, semakin menjadikan seseorang itu tangguh dan tidak kagetan.

Itulah tiga point ringkasan dari pengalaman-pengalaman personal saya setelah dua tahun kuliah di luar negeri. Namun, bagi saya yang lebih menantang adalah kehidupan setelah kuliah. Itulah ujian sebenarnya, karena kita, sebagai profesional, dilihat dari apa yang kita kerjakan bukan dari tempat kita menimba ilmu saja.

Advertisement

5 thoughts on “Manfaat Kuliah di Luar Negeri”

  1. hahahaha, ketawa aja sih baca point yg pertama. bukan hanya kemampuan, kepercayaan diri pun meningkat luar biasa tajam… sedangkan kemampuan coding rasanya disitu2 aja =))

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: