Minggu lalu, sehari sebelum perayaan kemerdekaan, Indonesia raya berkumandang di Istora Senayan, Jakarta. Hendra Setiawan dan Muhammad Ahsan dinobatkan sebagai juara dunia untuk ke dua kalinya setelah tahun 2013 di Guangzhou, Tiongkok. Terus terang itu adalah kali pertama saya melihat sang merah putih di kibarkan di arena olah raga diiringi lagu Indonesia Raya. Haru dan bangga mendominasi Istora malam itu.
Kalau melihat sejarah, Indonesia merupakan sebuah kekuatan besar di olahraga bulu tangkis selain Tiongkok, Korea, Denmark, Malaysia. Saya masih ingat waktu saya masih duduk di bangku SD dan masih (sedikit banyak) ingusan, jalanan kampung menjadi ramai oleh anak-anak yang bermain bulu tangkis ketika ada turnamen-turnamen besar sedang berlangsung semisal Thomas-Uber Cup, All England ataupun Indonesia Open. Saat itu turnamen-turnamen tersebut masih sering di tayangkan di televisi nasional dan menjadi salah satu tontonan favorit keluarga di kampung, waktu itu.
Meskipun dengan minimnya coverage dari televisi nasional, saya senang dan terharu ketika melihat setiap turnamen bulutangkis skala internasional di Istora bangku penonton terlihat penuh. Bahkan ketika Indonesia Open SSP Juni lalu, Istora penuh mulai dari hari pertama. Sebuah pemandangan yang sangat jarang dijumpai di negara lain. Bahkan, di tahun-tahun sebelumnya penonton tetap penuh meskipun tiada pemain Indonesia berlaga di final.
Tak bisa dipungkiri, salah satu hal yang paling menarik tentang turnamen bulu tangkis di Indonesia adalah para penontonnya. Ya, suporter Indonesia itu rame, super rame. Penonton akan meneriakkan yel-yel dari awal match sampai akhir, bertepuk tangan dengan balon dan melakukan mexican wave! Sangat berbeda jika menonton turnamen di negara-negara lain yang sangat-sangat tenang; tepuk tangan hanya terjadi ketika break antar point, ya hanya tepuk tangan dan mungkin sedikit yel-yel penyemangat. Saya sempat membaca di sebuah forum bulu tangkis berbahasa Inggris tentang penonton di Indonesia, seorang user bilang kira-kira begini: I’ve been watching Indonsian supporter being like that since forever, either you love it or hate it.
Satu lagi yang menjadi catatan bagi saya adalah ternyata suporter bulu tangkis Indonesia sudah cukup dewasa. Siapapun yang bermain mereka akan mensupport, bahkan ketika pemain Tiongkok pun. Ini karena mereka lebih melihat personal dan juga dari permainan dari atlit tersebut. Namun, itu tidak berlaku kalau musuhnya adalah pemain Indonesia karena semua akan berteriak IN-DO-NE-SIA tanpa komando. Pun, ketika pemain kita kalah, para supporter tetap memberikan apresiasi yang maksimal dengan bertepuk tangan dan bahkan tak jarang dengan standing ovation.
Selain penonton, panitia perhelatan di Istora juga luar biasa. Mereka menjadikan turnamen ini sebuah experience yang menyenangkan, tak hanya olah raga tapi juga hiburan. Pantaslah BWF (Badminton World Federation) menganugerahi Indonesia Open SSP sebagai turnamen terbaik di tahun 2014 dan dijadikan sebagai acuan dan tolok ukur untuk turnamen-turnamen lainnya. Tak hanya penonton yang puas dengan penyelenggaraan, pemain juga sangat antusias ketika bertanding di Indonesia, dan sering kali mereka bilang seperti main di rumah sendiri karena dukungan yang luar biasa di sini.
Oleh karena itu, Indonesia adalah rumah bagi bulu tangkis adalah jargon yang tidak terlalu berlebihan menurut saya. Dilihat dari sejarah, kekuatan team, penyelenggaraan event dan tentu saja suporter, Indonesia menjadi salah satu negara bulutangkis yang sangat disegani di dunia. Terlebih lagi para pemain yang merasa puas dan nyaman (dan sedikit grodi, tentu saja) jika bermain dihadapan ribuan mania bulu tangkis di sini. Alasan-alasan inilah yang menurut saya membuat jargon itu, lebih kurang, valid adanya.
Mbok ya sekali2 diajak kalo lg ke istora mas.. Heheheh.. 😀
haha .. ok .. kapan-kapan ras, kalo badminton biasanya setahun sekali sih pas Indonesia Open. Kalo ke gbk ya lari-lari aja pas pulang kerja hehe
wah..itu ajakan yg susah diterima.. 😛